Perlindungan Hukum Korban Kekerasan Psikis Terhadap Perempuan KDRT Sesuai UU No 23 Tahun 2004

Sugeng Samiyono, SH.,MH
Sugeng Samiyono, SH.,MH (Dosen Hukum Universitas Pamulang)

ZONAPERS.com, Jakarta – Perlindungan Hukum Korban Kekerasan Psikis Terhadap Perempuan KDRT Sesuai Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004.

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk psikis apa saja yang menjadi sebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga dan bagaimana perlindungan hukum terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga berupa kekerasan psikis menurut UU No. 23 Tahun 2004. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan:

1. Bentuk-bentuk psikis yang menjadi sebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah: Pertengakaran soal uang, cemburu, problema seksual, alkohol atau minuman keras, pertengkaran tentang anak, suami di PHK atau nganggur, isteri ingin sekolah lagi atau bekerja, kehamilan, isteri/suami menggunakan obat- obatan terlarang.

2. Dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga jelas sekali disebutkan dalam Pasal 10 berupa pemberian hak-hak bagi korban seperti perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan, pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis, penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan pelayanan bimbingan rohani. Pasal 15 setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan suatu upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya dan Pasal 16 sampai dengan Pasal 38 yaitu diatur mengenai perlindungan oleh pihak kepolisian berupa, juga perlindungan sementara yang diberikan paling lama 7 hari dan dalam waktu 1×24 jam sejak memberikan perlindungan, perlindungan oleh pihak advokat, perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah perlindungan yang diberikan selama 1 tahun, pelayanan kesehatan dalam upaya pemberian sanksi terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga, pelayanan sosial yang diberikan dalam bentuk konseling, pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban serta pelayanan oleh pembimbing rohani.

BAB I.
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini menitik beratkan perlindungannnya kepada perempuan karena memang pada kenyataannya dimanapun dalam kehidupan berrumah tangga, perempuan dan anak sering menjadi korban kekerasan, entah itu kekerasan fisik, kekerasan psikis maupun kekerasan seksual.

Dengan adanya undang-undang ini, perempuan dalam kedudukannya sebagai istri dalam sebuah rumah tangga mulai menyadari bahwa ia berhak mendapat perlakuan yang sama di depan hukum dan sepatutnya mendapat perlindungan hukum dari segala apa yang mengancam keberadaannya sebagai seorang perempuan.

Oleh karenanya didalam perkembangan selanjutnya, perlakuan yang diterimanya di dalam kehidupan berumah tangga mulai dibuka di depan umum dan tidak lagi beranggapan bahwa hal tersebut adalah merupakan suatu aib keluarga yang tidak boleh diketahui umum.

Selanjutnya, pada Pasal 5 UU No. 23 Tahun 2004 ditentukan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: kekerasan fisik; kekerasan psikis; kekerasan seksual; atau penelantaran rumah tangga.

Ancaman pidana dan hal-hal yang berkaitan dengan ancaman pidana, juga telah diatur dalam Bab VIII tentang ketentuan Pidana, yang mencakup Pasal 44 sampai dengan Pasal 53.
Hal ini telah menimbulkan pertanyaan tentang cakupan dari bentuk-bentuk kekerasan yang diancamkan pidana dalam UU No. 23 Tahun 2004.

Dapat dipahami bahwa penghapusan atau setidaknya pengurangan tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan, tidak dapat hanya sekedar dengan jalan penanggulangan secara pidana semata-mata. Merupakan hal yang penting untuk mengkaji apa yang menjadi sebab dari terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan dan apa yang menjadi jalan keluarnya serta bagaimana perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada mereka yang menjadi korban tindak kekerasan dalam rumah tangga baik itu kekerasan fisik, kekerasan psikis maupun kekerasan seksual.

Perlindungan hukum pada perempuan yang menjadi korban dari tindak kekerasan, khususnya tindak kekerasan dalam rumah tangga telah diatur dalam berbagai insturmen hukum sebagai cara untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan. Substansi hukum tentang kekerasan terhadap perempuan dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang terkait secara langsung dan dapat dikualifikasikan sebagai tindak kekerasan terhadap perempuan yaitu Pasal 351 sampai dengan Pasal 356 KUHP. Selain dalam KUHP yang memberikan perlindungan hukum terhadap korban perempuan dari kekerasan fisik juga diatur dalam Pasal 6, Pasal 16 mengenai perlindungan dan Pasal 44 mengenai sanksi pidananya dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Perlindungan yang diharapkan oleh korban adalah perlindungan yang dapat memberikan rasa adil bagi korban. Kekerasan dalam rumah tangga yang mayoritas korbannya adalah perempuan pada prinsipnya merupakan sebuah fenomena pelanggaran HAM sehingga masalah ini dapat dikategorikan sebagai bentuk diskriminasi, khususnya terhadap perempuan dan sebuah kejahatan yang korbannya perlu mendapat perlindungan baik dari aparat pemerintah maupun masyarakat.

Akan tetapi, upaya penanggulangan terhadap korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga masih terlihat kurang karena korban terkait masih tidak mengadukan perbuatan pelaku kekerasan terhadapnya. Salah satu penyebab korban KDRT enggan melaporkan pelaku KDRT kepada polisi adalah keterbatasan ekonomi dan kebutuhan untuk dilindungi dan disayangi oleh orang lain sebagai pasangan menjadi penyebab utama keengganan korban untuk melaporkan pelaku KDRT.

Hal ini menyebabkan kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga semakin meningkat meskipun hukum atau aturan tentang perlindungan terhadap perempuan korban KDRT telah dibuat oleh pemerintah.

1.2. IDENTISIFIKASI MASALAH

1.3. Rumusan Masalah
1. Bentuk-bentuk psikis perempuan apa saja yang menjadi sebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga ?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga berupa kekerasan psikis perempuan menurut UU No. 23 Tahun 2004 ?.

1.4. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan memahami bentuk-bentuk psikis perempuan apa saja yang menjadi sebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga.

2. Untuk Mengetahui dan memahami Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga berupa kekerasan psikis perempuan menurut UU No. 23 Tahun 2004.

1.5. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian seseorang mengharapkan adanya manfaat dan manfaat, karena nilai suatu penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian tersebut. Beberapa manfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini antara lain:

1. Utilitas teoretis
A. Hasil penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan inspirasi bagi perkembangan hukum, khususnya yang berkaitan dengan korban KDRT terhadap perempuan.
B. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya yang sejenis.
C. Diharapkan dengan penyelidikan ini dapat ditemukan suatu cara yang efektif untuk mencegah bahkan mengatasi di kemudian hari meningkatnya korban KDRT terhadap perempuan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Keuntungan praktis
A. Hasil penelitian ini dapat meningkatkan dan mengembangkan pemikiran dan analisis penulis tentang masalah hukum dan dapat membantu para pihak terkait permasalahan yang diteliti, bentuk-bentuk psikis perempuan apa saja yang menjadi sebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga.
B. Serta dapat memberikan saran dan tambahan pengetahuan.
C. Dapat memberikan gagasan penegakan hukum yang dapat digunakan sebagai bahan refleksi dan sebagai dasar pengambilan keputusan atau pedoman.

BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA

Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan (UU No. 23 Th 2004, 2004: 2).

Kekerasan menurut UU KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan bulcum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan mengingatkan kita pada suatu keadaan, situasi, apapun perlakuan yang berkonotasi rasa sakit, tidak nyaman dan berbagai bentuk kerugian baik fisik, seksual, psikologis.

Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yang termasuk dalam perbuatan penganiayaan jelas-jelas dilarang oleh agama manapun dan ditetapkan sebagai perbuatan pelanggaran HAM. Tindakan kekerasan dalam rumah tangga dapat dilaporkan pada polisi untuk mendapat perlindungan hukum bagi korban kekerasan baik untuk sendiri maupun keluarganya dari tindak kekerasan. Tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang semula dianggap wajar oleh kaum perempuan, sekarang tindakan kekerasan dianggap sebagai tindakan kriminal yang harus dilaporkan pada polisi, untuk mendapatkan perlindungan hukum.

Farha Ciciek dalam buku Ihtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga Belajar dari Kehidupan Rosulullah SAW, (Ciciek, 1999: 86) mengemukakan panjang lebar tentang kekerasan domestik yang menimpa kaum perempuan dengan bahasa yang singkat menuliskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah salah satu permasalahan yang menjadi tanggung jawab masyarakat membutuhkan peran negara.

Dalam buku menakar harga perempuan, eksploitasi lanjut atas hak-hak reproduksi perempuan dalam Islam, dengan Syafiq Hasyim selaku editor, disitu Ellin N. Hasbiyanto dalam tulisan yang berjudul “Kekerasan dalam Rumah Tangga Sebuah Kejahatan yang Tersembunyi” (Hasbiyanto, 1999: 56) mengemukakan secara berani tentang mitos dan fakta tentang kekerasan dalam rumah tangga, sebab-sebab KDRT dan dampak KDRT.

Masih dalam buku yang sama, Husain Muhammad Menulis tentang “Refleksi Teologi tentang kekerasan Terhadap Perempuan” (Hasbiyanto, 1999: 86-87) disitu dia berusaha mengungkapkan atas hukum mengapa kadang terjadi salah persepsi tentang sebuah ayat yang bermuatan hukum dan dijadikan alasan untuk membenarkan sebuah perbuatan yang salah.

Dia juga mengemukakan tentang lima asas perlindungan hak atas dasar wacana Islam dikenal al- kulliyat al-khoms yaitu perlindungan atas agama, jiwa, akal, keturunan, kehormatan dan harta.

Atas dasar inilah maka, seluruh pemikiran dan sistem apapun yang melegitimasi praktik diskriminasi, marginasi, dan penindasan oleh siapapun dan terhadap siapapun, harus ditindak demi agama dan kemanusiaan.

Menurut Sudarsono (2006), pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.

Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melainkan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan. Secara umum, kejahatan kekerasan adalah suatu problema yang senantiasa muncul ditengah tengah masyarakat.

Pengertian kejahatan bila ditinjau dari segi Bahasa, maka kejahatan berasal dari dasar ‘jahat’ yang mendapat awalan ‘ke’ dan akihiran ‘an’ di dalam kamus Bahasa Indonesia W.J.S Poerwadarminta. Kemudian menurut Soedjono D. (1996:16) memberikan pengertian kejahatan sebagai berikut:

“Kejahatan adalah perbuatan manusia yang melanggar atau bertentangan dengan apa yang ditentukan kaidah hukum, tegasnya perbuatan yang melanggar larangan ditetapkan dalam kaidah hukum dan tidak memenuhi atau melawan perintah-perintah yang ditetapkan dalam kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan bertempat tinggal.”

Terdapat perlindungan hukum yang telah dibuat oleh pemerintah dalam melindungi hak asasi terhadap perempuan. Kata hukum dalam dalam tulisan ini adalah hukum secara normatif, yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif) yang ditetapkan pada orde reformasi.

Adapun isi perundang-undangan yang dipilih untuk diteliti dibatasi hanya pada peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi hak- hak dasar perempuan.

Perjuangan kaum perempuan dalam mencapai kesetaraan dan keadilan yang telah dilakukan sejak dahulu, ternyata belum dapat mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan untuk dapat sejajar dengan kaum laki-laki.

Sekalipun kekuasaan tertinggi di negeri ini pernah dipegang oleh perempuan, yakni Presiden Megawati Soekarno Putri, dan telah banyak kaum perempuan yang memegang jabatan strategis dalam pemerintahan, ketidakadilan gender dan ketertinggalan kaum perempuan masih belum teratasi sebagaimana yang diharapkan.

Kaum perempuan tetap saja termarjinalkan dan tertinggal dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam bidang hukum. Hal ini merupakan tantangan berat bagi kaum perempuan dan pemerintah.

Diantara Peraturan Perundang- undangan yang mengandung muatan perlindungan hak asasi perempuan adalah: Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-undang Politik (UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 42 Tahun 2008).

Kemudian Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender (PUG) dan Kerpres No. 181 Tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan yang diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2005.

Kekerasan terhadap perempuan, secara lebih spesifik sering dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gender. Hal ini disebabkan kekerasan terhadap perempuan seringkali diakibatkan oleh ketimpangan gender, yaitu dengan adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan.

Hal ini antara lain dapat terefleksikan dari kekerasan dalam rumah tangga yang lebih sering dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan lebih kepada korban yang lebih lemah.

Memberdayakan perempuan dalam partai politik adalah merupakan langkah paling awal untuk mendorong agar kesetaraan dan keadilan bisa dicapai antara laki-laki dan perempuan di dunia publik dalam waktu tidak terlalu lama. Langkah ini diperlukan agar jumlah perempuan di lembaga legislatif bisa seimbang jumlahnya dengan laki- laki.

Pada affirmative action, yang dianalisa adalah persoalan diskriminasi di tingkat kelompok sosial tertentu. Dalam konsep ini, tindakan non- diskriminatif itu harus memperhatikan karakteristik yang ada dalam institusi-institusi seperti gender atau ras. Kemudian, dalam kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi telah dikategorikan dalam beberapa bentuk, yaitu:

1.Kekerasan Seksual Kekerasan mengacu ke tindakan seksual yang dilakukan pelaku terhadap korban. Kekerasan seksual dapat dilihat dari dua aspek, yaitu pelecehan dan penyerangan seksual.
2. Kekerasan Fisik adalah kekerasan yang melibatkan anggota tubuh. Si korban merasakan penderitaan fisik akibat dari siksaan si pelaku.
3. Kekerasan Emosional Kekerasan emosional atau psikis adalah kekerasan yang melibatkan kondisi kejiwaan seseorang. Kekerasan yang dilakukan pelaku bisa melukai kondisi psikis korbannya atau membuat korbannya terganggu secara emosional.

Penjelasan tentang kekerasan secara umum bersifat kompleks terutama kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, namun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan kekerasan: perihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang mnenyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain serta paksaan.

Sedangkan dalam kamus Oxford kata kekerasan dipahami tidak hanya berkaitan dengan peng-gunaan fisik saja tetapi juga terkait dengan tekanan emosional dan psikis.

Melihat penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kekerasan di sini tidak hanya menggunakan fisik tetapi juga kekerasan dengan verbal. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, bahwa kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Selain kekerasan fisik, dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga disebut juga kekerasan psikis sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 7 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang berbunyi “Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang”.

Bentuk kekerasan terhadap perempuan itu beragam. Mulai dari ke-kerasan fisik, psikologis, ekonomi, sampai kekerasan seksual. Jelasnya ke-kerasan terhadap perempuan (istri) sebagaimana yang tertuang dalam rumusan Deklarasi PBB, yaitu tentang Deklarasi Penghapusan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan adalah segala tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis termasuk ancaman tindakan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi/keluarga.

Untuk memperjelas lingkup kekerasan KDRT, terdapat lingkupan rumah tangga yang bedasarkan Pasal 2 ayat (1) UU-PKDRT, yaitu:

I. Suami, istri, dan anak;

II. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf (a) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau

III. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Dalam bentuk perlindungan hukum, korban KDRT akan mendapatkan perlindungan atas haknya yang berdasarkan Pasal 10 UU-PKDRT tentang Hak-Hak Korban, yakni dengan mendapatkan:

a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,

b. Lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;

d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan Pelayanan bimbingan rohani.

BAB III.
METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode dengan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang bertitik tolak dari norma dalam masyarakat. Sedang teknik pengumpulan data menggunakan data primer yang diperoleh dari peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai KDRT, antara lain UU PKDRT No. 23 Tahun 2004,

Dalam suatu penelitian, metode mutlak diperlukan karena merupakan cara yang teratur dan berfikir secara kritis untuk mencapai suatu tujuan yang dimaksud. Metode ini diperlukan guna mencapai tujuan yang sempurna dan memperoleh hasil secara optimal.

1. Pendekatan dan jenis penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan lapangan (field research), dimaksudkan untuk mengetahui data responden secara langsung di lapangan, yakni suatu penelitian yang bertujuan mengenai studi yang. mendalam mengenai suatu unit sosial sedemikian rupa sehingga menghasilkan gambaran yang terorganisir dengan baik mengenai unit sosial tersebut.

Dalam penelitian dengan metode field research ini, penulis mewawancarai empat responden dari pihak kepolisian, maupun korban.

Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode kualitatif merupakan suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka.

Dengan demikian, laporan peneliti akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, videotape, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya (Moleong, 2009: 11).

2. Sumber data
Data yang dikumpulkan meliputi berbagai macam data yang berhubungan dengan pengaduan tindak kekerasan dalam rumah tangga.

Secara umum data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder.

a. Data primer
Data primer dan jenis data primer penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan subjek serta gambaran ekspresi, sikap dan pemahaman dari subjek yang diteliti sebagai dasar utama melakukan interpretasi data. Data atau informasi tersebut diperoleh secara langsung dari orang-orang yang dipandang mengetahui masalah yang akan dikaji dan bersedia memberi data atau informasi yang diperlukan.

b. Data sekunder
Data sekunder adalah data atau informasi yang diperoleh dari sumber-sumber lain selain data primer. Diantaranya buku-buku literatur yang berhubungan dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga, internet, dokumen pribadi, dan dokumen yang terkait dengan penelitian ini.

Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Peningkatan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah

e. Faktor Individu Perempuan
Dilihat dari bentuk pengesahan perkawinan, seperti melalui kawin siri, secara agama, adat, kontrak, atau lainnya perempuan yang menikah secara siri, kontrak, dan lainnya yang mengalami lebih besar mengalami kekerasan fisik dan / atau seksual dibandingkan perempuan yang menikah secara resmi negara catatan sipil atau KUA.

Selain itu, faktor yang sering bertengkar dengan pasangan, perempuan dengan faktor yang beresiko 3,95 kali lebih tinggi mengalami kekerasan fisik dan seksual, dibandingkan yang jarang bertengkar dengan pasangan. Perempuan yang sering menyerang pasangan / pasangan terlebih dahulu, terlebih dahulu melakukan kekerasan 6 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan / atau seksual dibandingkan yang tidak pernah menyerang pasangan sebelumnya.

d. Faktor Pasangan
Perempuan yang suaminya memiliki pasangan lain yang mempunyai pasangan lebih besar mengalami kekerasan fisik dan / atau seksual dibandingkan perempuan yang suaminya tidak mempunyai istri / pasangan lain. Begitu juga dengan perempuan yang berhubungan dengan suaminya yang berselingkuh dengan perempuan yang cenderung mengalami kekerasan fisik dan / atau seksualkali lebih besar dibandingkan yang tidak berselingkuh.

Disamping itu, ada pula perempuan yang memiliki pasangan menganggur beresiko lebih besar mengalami kekerasan fisik dan / atau seksual dibandingkan yang pasangannya bekerja
/ tidak menganggur.

Faktor pasangan yang pernah minum miras, perempuan dalam kondisi tersebut cenderung lebih besar mengalami kekerasan fisik dan / atau seksual dibandingkan yang suaminya tidak pernah minum miras.

Perempuan dengan pasangan pengguna narkotika mengalami kekerasan fisik dan seksual lebih besar dibandingkan yang tidak pernah menggunakan narkotika.

Perempuan yang memiliki pasangan pengguna narkotika tercatat 45,1% mengalami kekerasan fisik, 35,6% mengalami kekerasan fisik, 54,7% mengalami kekerasan fisikdan seksual, 59,3% mengalami kekerasan ekonomi, 61,3% mengalami kekerasan emosional / psikis, dan yang paling tinggi yaitu 74,8% mengalami kekerasan aktivitas.

Selain itu faktor pasangan yang pernah berkelahi fisik dengan orang lain, perempuan dengan kondisiini beresiko lebih besar mengalami kekerasan fisik dan / atau seksual dibandingkan yang tidak pernah berkelahi fisik.

g. Faktor Ekonomi
Permasalahan ekonomi yang didapatkan antara lain; rendahnya pendapatan keluarga karena gaji suami rendah, suami tidak bekerja maupun suami tidak dapat bekerja (akibat disabilitas atau terjerat kasus kriminal); adanya penelantaran rumah tangga (ditandai dengan tidak adanya pemenuhan nafkah oleh suami); ada pula rumah tangga yang harus terbelit urusan hutang piutang.

Domestic Violence Roundtable menungkapkan bahwa salah satu faktor yang menghambat seorang penyintas untuk melaporkan kekerasan yang diterimanya adalah ketergantungan ekonomi.

Sebuah survey yang dilakukan oleh Los Angeles Police Department (LAPD) menyebutkan bahwa penyintas dengan ketergantungan ekonomi memilih untuk tidak melaporkan KDRT yang diterimanya. Hal ini disebabkan karena penyintas memiliki kekhawatiran akan keberlangsungan hidupnya setelah melakukan pelaporan. Penyintas memiliki pemikiran bahwa dia tidak memiliki keterampilan mupun modal untuk bekerja apabila harus menjalani hidup terpisah dari pelaku KDRT.

h. Faktor Sosial Budaya
Pengaruh sosial dalam terjadinya kekerasan dalam rumah tangga cukup besar namun tidak memengaruhi keputusan korban untuk melaporkan kekerasan yang diterimanya pada pihak kepolisian.

Hal ini dapat dilatarbelakangi oleh beberapa stigma yang ada di masyarakat. Korban khawatir akan adanya penolakan maupun citra negatif yang diberikan masyarakat terhadap korban maupun pelaku.

Selain itu, masyarakat masih menganggap bahwa perceraian adalah hal yang memalukan karena menggambarkan kegagalan dalam
membangun rumah tangga. Adanya stereotipe negatif dari masyarakat membuat korban kekerasan dalam rumah tangga merasa kurang percaya diri, depresi, dan cenderung menyalahkan dirinya sendiri sebagai pihak yang pantas menerima kekerasan dari pelaku.

Kaum perempuan sebagai bagian dari anggota keluarga sangat rentan terhadap tindak diskriminasi, karena perempuan merupakan kaum yang lemah dibandingkan dengan kaum laki- laki yang dianggap paling kuasa dalam rumah tangga. Posisi isteri dalam keluarga sangat dilematis, disatu sisi, dia dituntut untuk menjadi isteri sekaligus ibu yang baik oleh tatanan kehidupan sosial yang berlaku dimana dia tinggal. Disisi lain dia mengalami perlakuan yang tidak manusiawi justru dari orang terdekat mereka yaitu suaminya sendiri.

Berdasarkan pemaparan dari faktor – faktor diatas yang telah diuraikan oleh peneliti, maka dari itu perlu ada perlindungan hukum terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada Tingkat Penyidikan Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Berikut peneliti akan memaparkannya dalam bentuk analisis yang tajam. Berdasarkan UU PKDRT bentuk perlindungan terhadap korban KDRT dapat berupa:

Pertama, perlindungan oleh pihak kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama 7 hari dan dalam waktu 1 x 24 jam sejak memberikan perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama tenaga kesehatan, sosial, relawan, dan pendamping rohani untuk melindungi korban. Pelayanan terhadap korban KDRT ini harus menggunakan ruangan pelayanan khusus di kepolisisan dengan system dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang mudah diakses oleh korban. Terhadap pelaku KDRT berdasarkan tugas dan wewenang kepolisian dapat melakukan penyelidikan, penangkapan dan penahanan dengan bukti permulaan yang cukup disertai dengan surat perintah penahanan ataupun tanpa surat penagkapan dan penahanan yang dapat diberikan setelah 1x 24 jam.

Kedua, perlindungan oleh pihak advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi ataupun negoisasi diantara para pihak korban dan pelaku KDRT, serta mendapingi korban pada tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dalam sidang pengadilan melalui koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping dan pekerja social.

Ketiga, perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah perlindungan yang diberikan selama 1 tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 hari setelah pelaku tersebut melakukan pelangaran atas peryatan yang ditandatanganinya mengenai kesangupan untuk memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan.

Keempat, pelayanan kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visum atas permintaan penyidik polisi atau membuat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti.

Kelima, pelayanan sosial yang diberikan dalam bentuk konseling untuk memguatkan dan member rasa aman terhadap korban, memberi informasi tentang hak hak korban untuk mendapatkan perlindungan.

Keenam, pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak hak korban untuk mendapatkan seeorang atau relawan pendamping, memdapingi seseorang untuk memaparkan secara objektif KDRT yang dialaminya dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, medegarkan dan memberikan pengutan secara psikologis dan fisik kepada korban.

Ketujuh, pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan mengenai hak dan kewajiban, memberikan pengutan iman dan taqwa kepada korban.

BAB IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Kekerasan yang sering dilakukan di dalam rumah tangga akan berpengaruh pada anak-anak karena sifat anak-anak yang suka meniru segala sesuatu yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya, dalam hal ini ayah dan ibunya. Kekerasan yang dilakukan oleh sang ayah dianggap sebagai suatu kewajaran bagi anak sehingga anak (laki-laki) yang tumbuh dalam lingkungan yang ayahnya suka memukul ibunya, akan cenderung meniru pola yang sama ketika ia sudah memiliki pasangan (istri).

Sangat dikhawatirkan terjadi peniruan model kekerasan kepada anak dari cerita-cerita dan pemberitaan-pemberitaan yang penuh dengan nuansa kekerasan yang termuat di media massa, khususnya tayangan televisi. Dari informasi mengenai peristiwa-peristiwa kejahatan, apalagi ditambah dengan adegan kekerasan yang diperlihatkan oleh orang tuanya yang seharusnya menjadi tauladan, kondisi semacam ini sewaktu-waktu dapat mendorong timbulnya crime imitation model (peniruan model kejahatan) termasuk delinquency imitation model (peniruan model kenakalan remaja).

Apa yang mereka lihat atau dengar semuanya tidak berlalu begitu saja, sebagian kejadian itu tentu ada yang terekam dengan baik dalam ingatan, khususnya yang menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan dirinya.

Gagasan bahwa pemukulan merupakan hak yang ada bagi laki-laki tentunya kontradiksi dengan cita-cita Al-Quran tentang hubungan suamiisteri yang harusnya kompak dan saling mendukung. Hal ini juga berkebalikan dengan aturan Quran yang mana laki-laki dan perempuan boleh membubarkan pernikahan yang gagal, sehingga akan mengesampingkan gagasan bahwa perempuan memiliki tugas dan kewajiban untuk tunduk kepada kekerasan.

Terdapat tiga teori yang mendasari faktor penyebab KDRT.

Pertama, teori biologis menyatakan bahwa tidak hanya hewan yang memiliki sifat agresif pada setiap dirinya, tetapi juga manusia sudah memilikinya sifat agresif pada setiap dirinya, tetapi juga manusia sudah memilikinya sejak lahir.

Sigmund Freud menyatakan bahwa manusia memiliki keinginan terhadap kematian yang mengarahkannya untuk menikmati tindakan melukai dan membunuh orang lain ataupun dirinya sendiri.

Sedangkan Konrad Lorenz menyatakan bahwa sifat agresif dan kekerasan merupakan dua hal sangat berguna untuk bertahan hidup.

Kedua, teori frustasiagresi menyatakan bahwa setiap orang yang sedang frustasi cenderung dapat bersifat agresif dengan alasan untuk melampiaskan perasaannya.

Ketiga, teori kontrol menyatakan bahwa manusia yang memiliki hubungan tidak memuaskan atau tidak sesuai dapat dengan mudah untuk terpaksa berbuat kekerasan ketika usaha untuk menjalin hubungan dengan manusia lain menghadapi situasi frustasi (Zastrow and Bowker 1984).

Definisi KDRT Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/ atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, dan perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pemerintah Indonesia 2004).

Tingkat KDRT yang setiap tahunnya cenderung meningkat menandakan bahwa korban mulai menyadari bahwa tindak KDRT bukanlah sesuatu yang dapat dinormalisasi, sehingga korban memiliki hak untuk memperjuangkan hak hidup aman dan lebih baik.

Namun, dengan tingkat KDRT yang cenderung meningkat juga memberikan tanda bahwa sangat dibutuhkannya peninjauan ulang terhadap perlindungan yang telah ada dan dilakukan saat ini agar dapat lebih efisien dalam terhadap perlindungan korban KDRT. Tabel 1. Jenis KDRT Tahun 2020 Jenis KDRT/ Relasi Personal Jumlah Kasus KDRT/Relasi Personal Kekerasan Terhadap Istri 3.221 (50%) Kekerasan Dalam Pacaran 1.309 (20%) Kekerasan Terhadap Anak Perempuan 954 (15%) Kekerasan Mantan Pacar 401 (6%) Kekerasan Manta Suami 127 (2%) Kekerasan Lainnya di Ranah Personal 457 (7%) Sumber: Catatan Tahunan Komas Perempuan, 2021. Data di atas merupakan sebuah fakta bahwa banyaknya jenis KDRT/ Relasi Personal terhadap perempuan yang menandakan semakin banyak perempuan yang menjadi korban KDRT.

Fokus kali ini yaitu kekerasan terhadap perempuan yang sudah menikah. Pernikahan yang seharusnya menjadi sebuah ruang yang nyaman untuk sepasang manusia, justru menjadi ruang paling Jurnal Pengabdian dan Penelitian Kepada Masyarakat (JPPM) e ISSN: 2775 – 1929 p ISSN: 2775 – 1910 Vol. 2 No.1 Hal: 20 – 27 April 2021 23 menakutkan bagi sebagian perempuan. Akan sangat sulit bagi seorang perempuan untuk melaporkan kekerasan yang terjadi kepadanya dengan berbagai alasan, baik alasan secara personal, keluarga, maupun budaya di sekitar lingkungan korban.

Data di atas merupakan bentuk sebuah gambaran yang perlu diketahui, karena pada kenyataanya masih banyak perempuan korban kekerasan khususnya seorang istri yang belum tercatat oleh lembagalembaga yang menaungi kasus kekerasan.

Maka pemerintah seharusnya dapat memberikan edukasi mengenai kekerasan kepada masyarakat luas agar masyarakat dapat lebih peduli dengan keadaan sekitar dan memahami alur pertolongan untuk korban kekerasan. Tabel 2. Jumlah Kasus Kekerasan Terhadap Istri Kasus Kekerasan Terhadap Istri Jumlah Kasus 2016 5.784 2017 5.267 2018 5.114 2019 6.555 2020 3.221 Sumber: Catatan Tahunan Komas Perempuan, 2021. Menurut data Catahu 2021 KDRT terhadap istri pada tahun 2020 memang menurun secara signifikan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Namun fenomena turunnya tingkat KDRT terhadap perempuan seharusnya tidak membuat masyarakat menjadi lengah, karena pada kenyataannya kekerasan terhadap istri masih menjadi kekerasan di ranah personal dengan tingkat paling tinggi setiap tahunnya.

Selain itu, masih banyak kekerasan terhadap perempuan yang perlu dihadapi untuk menciptakan ruang aman bagi semua perempuan di setiap ruang dan waktu.

Bentuk KDRT Menurut pasal 5-9 Undang-Undang PKDRT No. 23 Tahun 2004, dinyatakan bahwa bentuk-bentuk KDRT sebagai berikut:

a. Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
b. Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
c. Kekerasan seksual, yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
d. Penelantaran rumah tangga, yaitu menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantuangan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang orang bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Pemerintah Indonesia 2004). Tabel 3. Bentuk KDRT Bentuk KDRT Jumlah Kasus Kekerasan Fisik 2.025 Kasus Kekerasan Seksual 1.938 Kasus Kekerasan Psikis 1.792 Kasus Kekerasan Ekonomi 680 Kasus Sumber: Catatan Tahunan Komnas Perempuan, 2021.

Faktor Penyebab Terjadinya KDRT Faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri yaitu:
a. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri. Budaya patriarki membuat laki-laki atau suami berada dalam tingkat kekuasaan yang lebih tinggi daripada perempuan atau istri, sehingga perempuan tidak jarang ketika sudah menikah dianggap sebagai milik suaminya. Hal tersebut menimbulkan ketimpangan dalam hubungan karena suami memiliki kuasa lebih terhadap istrinya dibandingkan istrinya sendiri.

b. Ketergantungan ekonomi. Pendidikan dan Budaya patriarki yang sudah menjadi bagian dalam masyarakat memberikan pandangan bahwa seorang istri memang seharusnya bergantung pada suami. Fenomena ini tidak jarang membuat sebagian istri tidak terbiasa mandiri atau berdaya secara ekonomi, sehingga ketika terjadi KDRT membuat istri harus bertahan. Perilaku seperti ini juga membuat suami merasa memiliki kuasa lebih akan ketidak berdayaan istrinya.

c. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik. Kekerasan terhadap istri terjadi biasanya dilatar belakangi oleh ketidak sesuaian harapan dengan kenyataan suami. Kekerasan dilakukan dengan tujuan agar istri dapat memenuhi harapannya tanpa melakukan perlawanan karena ketidak berdayaannya. Fenomena ini juga masih menjadi salah satu dasar budaya dalam masyarakat bahwa jika perempuan atau istri tidak menurut, maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut.

d. Persaingan. Pada dasarnya manusia hidup memang penuh persaingan dan tidak pernah mau kalah, begitupun dengan sepasang suami dan istri. Persaingan antara suami dan istri terjadi akibat ketidak setaraan antara keduanya untuk saling memenuhi keinginan masing-masing, baik dalam pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi, keadaan lingkungan kerja dan masyarakat dapat menimbulkan persaingan yang dapat menimbulkan terjadinya KDRT. Budaya juga membuat pandangan bahwa laki-laki tidak boleh kalah atau lebih rendah dari perempuan, sehingga tidak heran jika terjadi kekerasan terhadap perempuan atau istri hanya untuk memenuhi ego laki-laki atau suami.

e. Frustasi. Kekerasan juga dapat terjadi akibat lelahnya psikis yang menimbulkan frustasi diri dan kurangnya kemampuan coping stress suami. Frustasi timbul akibat ketidak sesuaian antara harapan dan kenyataan yang dirasakan oleh suami. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang belum siap kawin, suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan masih serba terbatas dalam kebebasan. Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan perbuatan negatif lain yang berujung pada pelampiasan berbentuk kekerasan terhadap istrinya, baik secara fisik, seksual, psikis, atau bahkan penelantaran keluarga.

f. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum. Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang dialaminya.

Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga (Pangemanan 1998).

Menurut Bonaparte (2012), ada beberapa hambatan dalam penangan dan perlindungan korban KDRT, misalnya korban mencabut pengaduan dengan berbagai alasan, misalnya demi keutuhan keluarga atau kondisi psikologis anak, korban secara ekonomi tergantung pada pelaku, korban takut ancaman dari pelaku/ suami, dan adanya campur tangan pihak keluarga atau alasan budaya/adat/norma agama.

Kurangnya bukti, yang disebabkan beberapa hal, misalnya menghindari anak sebagai saksi, mengingat kondisi psikologis anak dan dampaknya; menjaga netralitas saksi dalam lingkungan rumah tangga; korban tidak langsung melapor setelah kejadian sehingga terjadi kesulitan ketika melakukan visum; penelantaran ekonomi karena pelaku tidak mempunyai pekerjaan/ penghasilan Dalam hal ini terlihat jelas bahwa sangat dibutuhkan pemaham budaya kesetaraan dalam kehidupan berpasangan, keluarga, maupun masyarakat.

Pemaham budaya kesetaraan setidaknya dapat membuat khususnya para laki-laki tidak lagi harus bersusah payah memenuhi ekspektasi budaya patriarki yang dimana menempatkan laki-laki harus selalu di atas perempuan.

Padahal dengan budaya kesetaran, laki-laki dan perempuan dapat saling menemukan titik kemampuan dalam pemenuhan keinginan sesuai dengan kapasitas diri masing-masing tanpa harus merasa bahwa diri laki-laki rendah ketika perempuan yang justru melakukan pemenuhan kebutuhan tersebut.

Dampak Psikologis Perempuan Korban KDRT Setiap perilaku individu dapat menghasilkan dampak bagi diri sendiri, individu lain, bahkan kelompok. KDRT merupakan sebuah perilaku yang memberikan dampak yang sangat kompleks terhadap perempuan korban KDRT.

Seperti yang sudah dijelaskan dibagian sebelumnya, bahwa terdapat beberapa bentuk kekerasan, seperti kekerasan fisik, seksual, psikis, dan ekonomi. Tindak kekerasan tersebut menghasilkan dampak psikologis terhadap perempuan korban KDRT, misalnya korban merasa cemas, ketakutan, depresi, selalu waspada, terus terbayang bila melihat kasus yang mirip, sering melamun, murung, mudah menangis, sulit tidur, hingga mimpi buruk.

Korban kehilangan rasa percaya diri untuk bertindak karena merasa tidak berdaya, kehilangan minat untuk merawat diri sehingga tidak teraturnya pola hidup yang dijalani, dan kehilangan keberanian dalam berpendapat dan bertindak.

Menurunnya tingkat konsentrasi korban, sehingga sering melakukan perbuatan ceroboh. Selalu merasa kebinggungan dan mudah lupa. Korban merasa rendah diri dan tidak yakin dengan kemampuan yang dimilikinya. Korban menjadi pendiam, enggan untuk ngobrol, sering mengurung diri di kamar. Korban sering menyakiti diri sendiri dan melakukan percobaan bunuh diri. Berperilaku berlebihan dan tidak lazim cenderung sulit mengendalikan diri. Agresif, menjadi karakter yang tempramen dan emosi kasar dalam berbicara maupun bertindak. (Maisah and Yenti 2016).

Sebagaimana dikemukakan oleh Jalaluddin, bahwa psikologi secara umum memang mempelajari gejala-gejala kejiwaan manusia yang berkaitan dengan pikiran (cognisi), perasaan (emotion), dan kehendak (conasi). Gejala tersebut secara umum memiliki ciri-ciri yang hampir sama pada diri manusia dewasa, normal dan beradab.

Dengan demikian ketiga gejala pokok tersebut dapat diamati melalui sikap dan perilaku manusia. Namun terkadang ada di antara pernyataan dalam aktivitas yang tampak itu merupakan gejala campuran, sehingga paraahli psikologi, yaitu pikiran, perasan, kehendak dan gejala campuran seperti integensi, kelelahanmaupun sugesti (Jalaluddin and Abdullah Idi 2012). Upaya Penanganan Terhadap Perempuan Korban KDRT

Salah satu upaya penanganan yaitu adanya pemenuhan hak terhadap perempuan korban KDRT. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 merupakan Undang-undang yang telah mengatur pemenuhan hak korban KDRT.

Pada Bab IV pasal 10 tentang hak-hak korban terdapat lima hal yaitu:

a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaaan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahsiaan korban;

d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;

e. Pelayanan bimbingan rohani.

Selain adanya pasal yang mengatur mengenai pemenuhan hak korban KDRT, pemerintah dan masyarakat juga memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap korban KDRT dan sudah ditetapkan pada Bab dan Pasal selanjutnya.

Pada Bab V tentang kewajiban pemerintah dan masyarakat pada pasal 13 dan 14 sebagai berikut:

Pasal 13 berbunyi untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing dapat melakukan upaya:

a. Penyediaan ruang pelayanan b. khusus di kantor kepolisian;
c. Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani;
d. Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah di akses oleh korban; dan
e. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, kelurga, dan teman korban. Pasal 14 berbunyi menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing, dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya (Pemerintah Indonesia 2004).

BAB V.
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian, maka kesimpulan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga di Kota Ambon adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan ekonomi, dan kekerasan seksual. Kekerasan fisik dalam bentuk pemukulan yaitu menampar dan menendang, kekerasan psikis dalam bentuk caci maki, mengeluarkan kata- kata kasar, sampai pada ancaman untuk diceraikan atau dibunuh, kekerasan ekonomi dalam bentuk suami tidak bertanggung jawab memenuhi kewajibannya sebagai tulang punggung keluarga dan kekerasan seksual dalam bentuk hubungan seksual dengan paksa, ancaman, dan di bawah pengaruh minuman keras.

2. Upaya perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di Kota Ambon yaitu mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

5.2 B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas penulis dapat memberikan saran yaitu:

1. Perlunya sosialisasi yang Lebih intens dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 sebagai payung hukum terhadap korban-korban kekerasan dalan rumah tangga, agar baik pelaku maupun korban khususnya suami maupun istri semakin mengerti dan memahami tentang hak-hak dan kewajibannya dalam lingkup rumah tangga.

2. Agar kepada setiap korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga berani mengungkapkan dan melaporkan segala bentuk perlakuan kekerasan dalam rumah tangga sesuai dengan aturan hukum yang ada, sehingga dengan demikian diharapkan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga khususnya yang dialami oleh perempuan dapat semakin diminimalisir.

3. Agar aparat penegak hukum bisa semakin tanggap terhadap segala bentuk tindak kekerasan yang terjadi dalam Iingkup rumah tangga dengan menerapkan hukum sebagaimana mestinya.

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA
• Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta. PT. Rineka Cipta. Jalaluddin, Haji, and Haji Abdullah Idi. 2012. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, Dan Pendidikan. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
• Kementrian Perlindungan Perempuan dan Anak. 2020. “Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan Dan Anak (SIMFONI PPA) Kemen PPPA.” https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringk asan.
• Komnas Perempuan. 2021. “Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak Dan Keterbatasan Penanganan Di Tengah Covid-19.” CATAHU 2021: Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan 2020.
• Kusumawati, Farida, and Yudi Hartono. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika. Maisah, and Yenti. 2016. “Dampak Psikologis Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Jambi.” Esensia 17(2): 265–77.
• Maramis, Willy F, and Albert A Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press.
• Pangemanan, Diana Ribka. 1998. “Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga.” Universitas Indonesia.
• Pemerintah Indonesia. 2004. “Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.” Lembaran RI Tahun 2004 No. UU. https://www.dpr.go.id/.
• Rochmat, Wahab. 2006. “Kekerasan Dalam Rumah Tangga : Perspektif Psikologis Dan Edukatif.” Unisia 61(3): 247–56.
• Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualititatif Dan R&B. Bandung: Alfabeta.
• Susiana, Sali. 2020. “Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Masa Pandemi Covid-19.” Info Singkat 12(24): 13–18.
• Yosep, Iyus. 2011. Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung: Refika Aditama.
• Zastrow, Charles, and Lee Bowker. 1984. Social Problems: Issues and Solutions. Chicago: Nelson-Hall.
• Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (cetakan ke-31), Jakarta : Intermasa, 2003, h. 23.http://norickyujustice.blogspot.com/2011/04/status-hukum-anak-dari-hasil- perkawinan.html.

Peraturan Perundang-Undangan:

• Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
• Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
• Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
• Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak.

Source: Sugeng Samiyono, SH.,MH

(Fakultas Hukum Universitas Pamulang) 
E-mail : [email protected]

Source: Bulan Indah Pratiwi

(Fakultas Hukum Universitas Pamulang) 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *