zonapers.com, Tasikmalaya.
Suhu politik di Kabupaten Tasikmalaya kian memanas jelang Pemilihan Suara Ulang (PSU) yang akan digelar pada 19 April 2025. Bukan hanya soal siapa yang unggul di survei, tapi siapa yang layak memimpin daerah yang dikenal sebagai “Kota Santri” ini. Sorotan tajam pun tertuju pada Hj. Ai Diantani, satu-satunya calon bupati perempuan yang diusung koalisi PDIP, PKB, NasDem, dan PBB.
Namun, pencalonan ini justru memicu gelombang penolakan dari kalangan ulama. Mereka menilai, memimpin kabupaten dengan ribuan pesantren bukanlah peran yang tepat bagi seorang perempuan.

“Bukan karena kami anti perempuan, tapi untuk Tasikmalaya yang sarat nilai-nilai religius, bupati perempuan terasa kurang pas,” ujar KH Bobon dari Pondok Pesantren Suryalaya. Ia menyebut, sepanjang sejarah pilkada Tasikmalaya, belum pernah ada calon perempuan yang benar-benar mendapat dukungan luas dari kalangan pesantren.
KH Ujang Hidayatulloh, pimpinan PP Assyukandary, bahkan menyebut pencalonan Hj. Ai sebagai bentuk ambisi dinasti politik. “Ini bukan sekadar soal gender, tapi juga soal etika berpolitik. Rakyat harus PSU lagi karena ambisi kekuasaan yang dipaksakan. Dan itu jelas merugikan,” ujarnya tegas.
Tak hanya itu, Gus Rohmat dari Majelis Dzikir Batu Mahpar menambahkan bahwa dalam konteks religius Tasikmalaya, kepemimpinan perempuan bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dijunjung tinggi. Ia mengutip Surat An-Nisa ayat 34, “Arrijalu qowwamuna ‘ala an-nisa” — bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan.

“Kalau daerah lain mungkin bisa berbeda. Tapi Tasikmalaya ini istimewa. Kota Santri, Kota Seribu Pesantren. Ini bukan hanya soal politik, tapi soal menjaga marwah,” tegasnya.
Sementara di kubu pendukung Hj. Ai, isu gender ini disebut sebagai bentuk diskriminasi yang membatasi hak politik perempuan. Namun, hingga hari ini, suara penolakan dari para kiai dan tokoh pesantren masih jauh lebih lantang terdengar.
Dengan waktu yang semakin mepet menuju hari pencoblosan, satu hal yang pasti: PSU kali ini bukan hanya tentang memilih pemimpin, tapi juga tentang arah masa depan “Kota Santri” — apakah tetap menjunjung tradisi lama, atau membuka pintu perubahan baru?
#Dari berbagai narasumber.
Redaksi.