Konflik agraria yang terus terjadi di berbagai wilayah Indonesia dinilai bukan sekadar permasalahan kepemilikan lahan, melainkan menyentuh aspek keadilan sosial yang lebih mendasar. Pandangan tersebut disampaikan oleh Kompol Sandy Budiman, S.H., S.I.K., M.Si., yang menyoroti perlunya pembenahan menyeluruh dalam sistem pertanahan nasional.
“Konflik agraria seperti di Rempang atau Wadas tidak hanya merugikan warga, tetapi juga mengguncang rasa keadilan publik. Ini bukan sekadar perebutan lahan, melainkan menyangkut hak hidup masyarakat kecil,” ujar Kompol Sandy di Jakarta, Kamis, (30/10/25).
Persoalan Agraria sebagai Luka Sosial Bangsa
Konflik tanah di Indonesia hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Dari kasus di Pulau Rempang, Wadas, Mesuji, hingga Kampung Akuarium di Jakarta, sengketa agraria terus muncul dengan pola yang hampir serupa.
Kompol Sandy mengidentifikasi sedikitnya tiga akar permasalahan utama yang kerap menjadi pemicu konflik agraria di tanah air, yaitu:
Administrasi pertanahan yang tidak tertata dengan baik dan tumpang tindih.
Perubahan tata ruang yang mengabaikan keberadaan masyarakat lokal.
Lemahnya perlindungan hukum terhadap tanah adat dan hak masyarakat kecil.
Menurutnya, ketidakpastian hukum dalam pengelolaan tanah berdampak langsung pada stabilitas sosial dan ekonomi nasional.
“Kepastian hukum dalam bidang pertanahan adalah fondasi utama pembangunan. Jika hal ini lemah, masyarakat kehilangan rasa aman, sementara investasi pun enggan masuk.”
Pemahaman Hak Atas Tanah Dinilai Masih Minim
Lebih lanjut, Kompol Sandy menyoroti rendahnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap jenis-jenis hak atas tanah. Hal ini sering menimbulkan kerentanan hukum dan sosial di lapangan.
Ia menjelaskan, terdapat tiga pilar utama dalam sistem agraria nasional yang perlu dipahami masyarakat, yaitu:
Sertifikat Hak Milik (SHM): Hak kepemilikan tertinggi atas tanah, yang hanya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia.
Hak Guna Bangunan (HGB): Hak untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah dengan jangka waktu tertentu, umumnya 30 tahun, dan dapat diperpanjang.
Hak Prioritas: Hak bagi masyarakat lokal atau pemilik lama untuk memperoleh kembali lahan yang dimanfaatkan pihak lain.
“Hak prioritas merupakan bentuk perlindungan bagi masyarakat kecil agar tidak tersingkir oleh kepentingan besar,” tegas Sandy.
Perlu Reformasi dan Pengawasan dalam Sektor Pertanahan
Sebagai langkah strategis, Kompol Sandy mendorong dilakukannya reformasi besar-besaran di sektor pertanahan, termasuk penerapan sistem digitalisasi data dan pembentukan lembaga pengawasan khusus terhadap Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Digitalisasi pertanahan merupakan kunci utama. Dengan sistem yang terbuka dan terintegrasi, praktik sertifikat ganda serta manipulasi dokumen dapat dihapus. Namun, untuk menjamin transparansi, perlu adanya lembaga pengawas independen di luar BPN,” katanya.
Tanah sebagai Identitas dan Sumber Kehidupan Bangsa
Menutup pandangannya, Kompol Sandy menegaskan bahwa tanah memiliki makna lebih dari sekadar aset ekonomi. Tanah, menurutnya, merupakan identitas, sumber kehidupan, dan simbol kedaulatan rakyat.
“Tanah bukan hanya soal nilai ekonomi, tetapi tentang jati diri dan keberlangsungan hidup masyarakat. Jika dikelola secara adil, tanah menjadi sumber kesejahteraan. Namun bila disalahgunakan, ia akan menjadi sumber konflik,” tutupnya.
Pandangan tersebut mencerminkan urgensi pembenahan kebijakan agraria nasional yang berkeadilan dan berpihak pada masyarakat kecil, di tengah derasnya arus investasi dan modernisasi pembangunan.