zonapers.com,Jakarta.
Catatan Redaksi Minggu ini :
Belakangan ini, berbagai media menampilkan pemberitaan mengenai DA yang disebut-sebut sebagai gembong narkoba kelas kakap. Bahkan tidak sedikit media memajang foto wajah DA secara utuh tanpa blur, serta menuliskan nama lengkap tanpa inisial. Hal ini memunculkan pertanyaan besar: ke mana perginya penghormatan terhadap Kode Etik Jurnalistik? Minggu, (7/12/25).
Di Indonesia—bahkan secara internasional—media diwajibkan menjunjung tinggi Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence). Artinya, sebelum ada keputusan hukum yang tetap, setiap orang masih berstatus terduga, bukan pelaku yang sudah dipastikan bersalah.
Media bukan lembaga peradilan. Media tidak memiliki kewenangan menghakimi ataupun menjatuhkan vonis melalui pemberitaan. DA memang disebut sebagai anggota sindikat narkoba besar dengan barang bukti mencapai 5 ton narkoba. Namun, siapa yang menyatakan? Apakah sudah ada putusan pengadilan yang sah dan berkekuatan hukum tetap?
Selama keputusan tersebut belum ada, jurnalis wajib menulisnya sebagai terduga dan memastikan bahwa pemberitaan tidak menjerumuskan opini publik seolah-olah keputusan pengadilan telah dijatuhkan.
Ironisnya, lembaga yang selama ini digadang sebagai pengawas etika pers—Dewan Pers—tampak kehilangan kontrol terhadap maraknya pelanggaran kode etik terkait pemberitaan semacam ini. Banyak media berlomba-lomba memuat berita sensasional demi klik, mengorbankan prinsip dasar jurnalistik.
Bagi para pemimpin redaksi dan jajaran redaksi, sudah saatnya kembali membuka dan memahami Kode Etik Jurnalistik Indonesia. Media tidak boleh mengarahkan opini publik untuk menganggap seseorang telah bersalah sebelum pengadilan memutuskan.
Perlu diingat, media bukan penentu hukum. Media bukan alat keberpihakan. Tugas media adalah menyampaikan informasi secara berimbang, akurat, dan netral.
Pimred zonapers.com



































































