Zonapers – Jakarta
Perseteruan hukum antara perusahaan Singapura, Mitora Pte. Ltd., dengan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi yang dikelola keluarga Cendana memasuki babak baru. Kali ini, Mitora mengajukan pembatalan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), yang sebelumnya memenangkan pihak yayasan atas kasus wanprestasi.
Konflik yang telah menjadi sejarah ini, bermula sejak 2018, ketika Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, yang diketuai oleh Siti Hardianti Hastuti Rukmana (Tutut), gagal memenuhi kewajiban pembayaran kepada Mitora berdasarkan Perjanjian Kerjasama No. 13 Tahun 2014. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Yayasan sempat berjanji menyelesaikan masalah secara damai dan mencabut gugatan Mitora. Yayasan bahkan mengakui utang senilai Rp 104 miliar melalui Surat Tugas Soehardjo Soebardi pada 2019. Namun, hingga kini, Rp 74 miliar dari utang tersebut belum dilunasi.
Pada 13 September 2024, BANI memutuskan Mitora bersalah atas wanprestasi dan menyatakan perjanjian kerja sama mereka batal demi hukum. Mitora juga diperintahkan membayar Rp 15 miliar kepada Yayasan. Keputusan ini langsung dikecam oleh kuasa hukum Mitora, OC Kaligis, yang menyebutnya penuh kejanggalan dan melanggar prosedur.
“Yayasan bahkan membayar uang perkara untuk mempercepat putusan BANI. Ini tidak sesuai prosedur. Kami yakin putusan ini bisa dibatalkan karena bertentangan dengan UU Arbitrase, yurisprudensi MA, dan Putusan MK,” tegas OC Kaligis dalam pernyataan resminya.
OC Kaligis mengungkap bahwa Mitora telah mengajukan gugatan lebih dari empat kali sejak 2018. Namun, Yayasan malah memutar balik fakta dan mengklaim Mitora wanprestasi. “Kami sudah setuju menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. Tapi hingga kini, sisa utang Rp 74 miliar belum dibayar,” tambahnya.
Menurut Kaligis, keputusan BANI ini justru membenarkan pemutusan sepihak oleh Yayasan atas perjanjian kerja sama yang seharusnya dilakukan dengan itikad baik. “Perjanjian kami dibatalkan begitu saja, lalu kami dituduh wanprestasi. Ini tidak adil,” ujarnya.
Di tengah ketidakpastian ini, OC Kaligis masih optimistis hukum di Indonesia dapat ditegakkan. Ia berharap keadilan akan terwujud di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Kini, Mitora melangkah ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk membatalkan Putusan BANI. Kasus ini tak hanya menjadi sorotan hukum tetapi juga menyoroti dinamika kompleks antara investasi asing dan entitas lokal di Indonesia.
Apakah keadilan akan berpihak pada Mitora? Atau justru Yayasan Purna Bhakti Pertiwi kembali keluar sebagai pemenang? Drama hukum ini akan terus menjadi perhatian publik.
Pewarta; HM