ZONAPERS.com, Manado – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara menuntut penjara tiga tahun terdakwa MS (37), atas kasus pengelapan yang dilaporkan lelaki Ansar pada 7 Desember 2017 silam. MS menghadapi tuntutan jaksa dalam sidang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Manado, Rabu (19/01/2022).
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Meifie SY Sasiwa dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dikurangi masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani terdakwa,” kutipan tuntutan JPU Remblis Lawendatu, SH MH.
Pada poin 3 tuntutan tersebut, JPU juga memasukan bukti putusan PN Nomor 396/PID.B/2017/PN.Mnd sehubungan perkara pidana penipuan yang dilaporkan Luth Garda 2017 silam.
Menarik dalam kasus tersebut, MS pernah divonis kurungan badan, atas pokok perkara yang sama atau ne bis in idem. Perkara itu sudah dilaporkan Luth Garda pada tahun 2017. Ansar pada masa itu tampil sebagai saksi korban yang memberatkan terdakwa MS. Dari perkara tersebut, MS mendapat putusan pidana penjara tiga tahun dari tuntutan JPU empat tahun.
Mendapat putusan pada 6 Desember 2017, MS dilaporkan lagi keesokan harinya, 7 Desember 2017 oleh Ansar dengan pokok perkara yang sama. Ironisnya, keterangan ahli hukum dan putusan hakim terdahulu rontok di tangan penyidik Polda Sulut dan tidak disertakan dalam tahapan P21 ke Kejaksaan.
Kuasa hukum MS, Ronald Aror SH menjelaskan, dalam kasus ini, MS sebenarnya hanya dipidana satu kali. Karena Ansar sudah memberikan kesaksian memberatkan di persidangan tahun 2017 yang menyebabkan MS divonis penjara tiga tahun. Mestinya, kata Ronald, Ansar menggugat perdata jika merasa ada kerugian.
“Dalam perkara MS ini, unsur yang menegaskan ne bis in idem sangat terang benderang. Terdakwa sudah menanggung putusan hukum. Pidananya tidak boleh dua kali. Harusnya pelapor gugat perdata. Karena semua pihak yang menjadi korban saling terkait,” jelas Ronald, usai sidang tuntutan di PN Manado, Rabu sore.
Ronald mencontohkan, kasus First Travel beberapa tahun lalu menimbulkan kerugian ribuan korban. Laporan sejumlah korban di masa itu sudah mengakomodir tuntutan hukum ribuan korban.
“Tidak ada laporan korban kedua dan seterusnya. Bagaimana mungkin ribuan korban harus melapor masing-masing atau dibuat split (terpisah). Apakah nanti terdakwa harus menghadapi ribuan perkara dengan pokok atau peristiwa yang sama? Jelas tidak bisa,” tutur Ronald.
Terungkapnya indikasi perkara ne bis in idem ini tampak dalam serangkaian sidang pemerikaan terdakwa, saksi korban, saksi yang dihadirkan terdakwa, dan ahli hukum.
Menurut Roland, perkara ini jelas menentang Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Penanganan Perkara yang berkaitan dengan azas Ne Bis In Idem.
Kemudian, pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia menyatakan bahwa “setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas perbuatan yang telah
memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”.
Ahli hukum dari Universitas Sam Ratulangi Manado Dr Jhonny Lembong SH MH, di persidangan berpendapat, bahwa perkara yang dihadapi MS bersifat ne bis in idem.
Dalam persidangan yang digelar pada Kamis (30/9/2021), Lembong menegaskan substansi perkara bukan soal kerugian.
“Tapi kepastian hukum untuk terdakwa,” ujar Lembong.
Kemudian ia menerangkan, bahwa sebuah perkara disebut ne bis in idem bukan soal locus dan tempus (tempat dan waktu) yang sama atau berbeda. Tapi titik beratnya apakah pokok perkara itu sudah dihadapi terdakwa atau tidak.
“Bukan soal korbannya banyak atau tidak. Jika korbannya merupakan rangkaian orang-orang yang saling berkait, atau sekelompok orang, kemudian perkaranya sudah diputuskan, seseorang tidak bisa lagi dilaporkan atas perkara yang sama meski korbannya nama lain. Apalagi korbannya pernah bersaksi di persidangan sebelumnya. Kalau dilaporkan lagi meski nama korban berbeda, itu disebut ne bis in idem. Perkara tidak dalam kategori ne bis in idem, jika korban yang satu tidak berkaitan dengan korban yang lain,” jelas Lembong.
Penjelasan Lembong tersebut menguatkan keterangan dua saksi dalam persidangan sebelumnya.
Saksi yang dihadirkan pelapor Ardan yakni IRT Telly Lumuhu maupun saksi dari terdakwa Zeth Sasiwa sama-sama menegaskan bahwa, keduanya sudah bersaksi di PN Manado untuk pokok perkara yang sama tahun 2017.
“Sebelum persidangan ini, apakah saudara saksi tahun bahwa perkara ini sudah pernah disidangkan sebelumnya. Apakah saudara saksi pernah memberikan keterangan sebagai saksi depan majelis hakim waktu itu?,” tanya kuasa hukum terdakwa MS, kepada Telly Lumuhu, saksi yang dihadirkan pelapor Ardan.
“Pernah pak. Tahun 2017 lalu. Saya bersaksi atas permintaan terdakwa Mey (MS) waktu itu. Dan Mey sudah dihukum. Itu laporan Luth Garda tapi dalam dakwaan ada tuntutan Ardan,” jawab saksi Telly Lumuhu.
Pada bagian selanjutnya, kuasa hukum bertanya ke saksi Zeth Sasiwa yang hadir secara virtual.
“Apakah saudara saksi tahu bahwa terdakwa Mey pernah dihukum sebelumnya atas pokok perkara yang sama?,” tanya kuasa hukum.
”Pernah pak. Mey sudah menjalani hukuman tahun 2017,” jawab Zeth Sasiwa.
Diketahui, MS terlibat hubungan jual beli tanah di Desa Batu, Likupang, Minahasa Utara tahun 2015. MS dan kerabatnya mengumpulkan dana dari Luth Garda, Ansar dan beberapa yang lain untuk pengurusan dokumen tanah. Dengan perjanjian, jika tanah sudah terjual ke investor asal Kanada, MS akan mengembalikan uang ke Luth Garda dan Ansar cs dengan jumlah yang lebih besar dari modal awal.
Dalam perjalanan waktu, tanah tidak dapat dijual. Luth Garda melapor ke polisi. Ansar dan beberapa korban duduk sebagai saksi di pengadilan. Setelah itu, giliran Ansar yang melapor ke Polda Sulut. Sidang dengan dengan laporan Ansar akan digelar pekan depan dengan agenda pledoi (pembelaan).
Redaksi.