ZONAPERS.com, Jakarta – Diskriminasi dan kekerasan terhadap anak dan perempuan masih terus terjadi. Sementara negara sebagai lembaga paling bertanggungjawab dinilai belum dapat memberikan perlindungan maksimal.
Hasan al zagladi SH.,MH, selaku Dosen Hukum dari Universitas Pamulang, melalui rilisnya menyebutkan, pada akhir-akhir ini banyak pemberitaan mengenai kasus kekerasan baik seksual pada anak-anak. Hal ini bisa dilihat dari pengaduan yang dilakukan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2021 terkait dengan kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Jumlah pengaduan masyarakat terkait kasus perlindungan khusus anak tahun 2021 sebanyak 2.982 kasus, aduan tertinggi kasus kejahatan seksual terhadap anak berasal dari jenis anak sebagai korban pencabulan sebanyak 536 kasus (62%), anak sebagai korban kekerasan seksual pemerkosaan/persetubuhan 285 kasus (33%), anak sebagai korban pencabulan sesama jenis 29 kasus (3%), dan anak sebagai korban kekerasan seksual pemerkosaan/persetubuhan sesama jenis 9 kasus (1%).
Menurut Dosen Hukum tersebut, dilihat dari sisi pelaku, para pelaku yang melakukan kekerasan fisik atau psikis terhadap korban, umumnya adalah orang yang dikenal oleh korban dan sebagian kecil tidak dikenal oleh korban.
Ia menambahkan, dalam aksinya pelaku cukup variatif, seperti teman korban, tetangga, kenalan korban, orangtua, oknum pendidik atau tenaga kependidikan di satuan pendidikan dan oknum aparat.
Lanjutnya, dari sisi lokasi kasus, kekerasan fisik atau psikis pada anak di Indonesia banyak terjadi di 5 (lima) provinsi di Indonesia, yaitu Provinsi Jawa Barat, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Banten, dan Provinsi Sumatera Utara.
“Kekerasan seksual pada anak membawa dampak serius bagi aspek pola pikir, perasaan dan emosi anak yang bersifat langsung maupun tertunda. Untuk membantu anak dapat menjalani proses pemulihan yang mendukung tumbuh kembangnya, maka perlu dipenuhi hak restitusi, rehabilitasi dan pemulihan. Ketiga hak ini belum diakomodir secara komprehensif oleh negara.” Ujar Hasan Dosen Fakultas Hukum Unpam.
Pemrosesan kasus kekerasan seksual anak secara hukum sering kali menemui hambatan baik dalam proses pelaporan kasus, proses penyidikan, dan proses peradilan secara keseluruhan. Negara dianggap belum mengakomidir kepentingan korban untuk mendapat keadilan bagi kasusnya.
Dia juga mengungkapkan, sulitnya pemenuhan proses peradilan mulai dari proses yang penuh stigma pada anak, proses hukum yang terlalu lama dan membutuhkan waktu, energi serta materil yang banyak.
“Hal-hal ini juga yang mencegah keluarga dan pihak-pihak pendamping terhambat dalam membawa kasus-kasus kekerasan seksual anak ke proses hukum.” Ungkapnya.
Di sisi lain, ia menyampaikan belum ada pemenuhan hak pemulihan yang komprehensif baik secara sistem maupun fasilitas fisik. Proses eksekusi pemulihan dan re-integrasi sosial pun masih belum terjadi secara menyeluruh bagi korban anak.
Pada tanggal 12 Oktober 2016, Pemerintah melalui DPR-RI telah melakukan Pengesahan PERPPU No 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, yang kemudian dijadikan Undang-undang No. 17 Tahun 2016.
Ia juga mengatakan, perubahan kedua dari Undang-Undang Perlindungan anak ini mengatur mengenai penghukuman bagi pelaku, sekali lagi pemerintah hanya memikirkan penghukuman bagi pelaku kejahatan seksual anak, pemerintah masih belum memprioritaskan perlindungan bagi korban, pemulihan atau rehabilitasi, pemenuhan hak-hak korban yang sampai saat ini belum terlaksana secara baik karena adanya kepincangan hukum dan juga mengenai persoalan re-integrasi korban kembali ke keluarga dan masyarakat yang belum terlaksana dengan baik, mulai dari proses pemulangan sampai pada proses pengawasan saat korban kembali ke keluarga atau masyarakat.
“Maka dapat pula disimpulkan bahwa negara sampai saat ini belum memberikan keadilan yang maksimal dan sesungguhnya bagi korban, keadilan bagi korban bukan dengan memberikan penghukuman bagi pelaku semata, namun keadilan bagi korban adalah korban dapat menikmati hidupnya kembali secara normal maka sangat diperlukan pemulihan, rehabilitasi dan pemenuhan hak-hak korban lainnya.” Katanya.
Ada sebanyak 19 Jenis Kekerasan Seksual Tercantum dalam UU TPKS, Hanya 9 yang Diatur Pidananya Menurut Pasal 68 UU TPKS, hak korban atas penanganan dijabarkan menjadi 7 bentuk, rinciannya yakni:
Hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil penanganan: pelindungan, dan pemulihan; hak mendapatkan dokumen hasil penanganan; hak atas layanan hukum; hak atas penguatan psikologis; hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan, dan perawatan medis; hak atas layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus korban; dan hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan seksual dengan media elektronik.
Kemudian ia juga menjelaskan, merujuk Pasal 69, hak korban atas pelindungan mencakup 7 hal, yaitu: penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas pelindungan; penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan pelindungan; pelindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan; pelindungan atas kerahasiaan identitas; pelindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan korban; pelindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, atau akses politik; dan pelindungan korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas tindak pidana kekerasan seksual yang telah dilaporkan.
Sementara, hak korban atas pemulihan dijabarkan dalam Pasal 70 Ayat (1), meliputi: rehabilitasi medis; rehabilitasi mental dan sosial; pemberdayaan sosial; restitusi dan/atau kompensasi; dan reintegrasi sosial.
Ayat (2) pasal yang sama mengatur soal pemulihan korban sebelum dan selama proses peradilan, yang mencakup: penyediaan layanan kesehatan untuk pemulihan fisik; penguatan psikologis; pemberian informasi tentang hak korban dan proses peradilan; pemberian informasi tentang layanan pemulihan bagi korban serta pendampingan hukum pemberian aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi korban penyandang disabilitas. penyediaan bantuan transportasi, konsumsi, biaya hidup sementara, dan tempat kediaman sementara yang layak dan aman, penyediaan bimbingan rohani dan spiritual, penyediaan fasilitas pendidikan bagi korban, penyediaan dokumen kependudukan dan dokumen pendukung lain yang dibutuhkan oleh korban, hak atas informasi dalam hal narapidana telah selesai menjalani hukuman dan hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan seksual dengan sarana elektronik.
Selanjutnya pemulihan setelah proses peradilan diatur pada Pasal 70 Ayat (3) yang mencakup: pemantauan, pemeriksaan, serta pelayanan kesehatan fisik dan psikologis korban secara berkala dan berkelanjutan; penguatan dukungan komunitas untuk pemulihan korban; pendampingan penggunaan restitusi dan/atau kompensasi; penyediaan dokumen kependudukan dan dokumen pendukung lainnya yang dibutuhkan oleh korban; penyediaan layanan jaminan sosial berupa jaminan kesehatan dan bantuan sosial lainnya sesuai dengan kebutuhan berdasarkan penilaian tim terpadu; pemberdayaan ekonomi; dan penyediaan kebutuhan lain berdasarkan hasil identifikasi UPTD PPA dan/atau Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat.
Lebih lanjut ia mengatakan, selain hak korban, UU TPKS juga mengatur hak-hak keluarga korban kekerasan seksual. Baca juga: UU TPKS Wajibkan Pemberian Restitusi dan Dana Bantuan ke Korban Kekerasan Seksual Merujuk Pasal 71, setidaknya keluarga korban berhak atas 7 hal, meliputi hak atas informasi tentang hak korban, hak keluarga korban, dan proses peradilan pidana sejak dimulai pelaporan hingga selesai masa pidana yang dijalani terpidana, hak atas kerahasiaan identitas, hak atas keamanan pribadi serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan. hak untuk tidak dituntut pidana dan tidak digugat perdata atas laporan tindak pidana kekerasan seksual, hak asuh terhadap anak yang menjadi korban.
“Kecuali haknya dicabut melalui putusan pengadilan meliputi hak mendapatkan penguatan psikologis, hak atas pemberdayaan ekonomi, hak untuk mendapatkan dokumen kependudukan dan dokumen pendukung lain yang dibutuhkan oleh keluarga korban.” Tutupnya.
Source: Hasan al zagladi SH.,MH (Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang)