Kasus Sambo : Anomali Vonis Hakim Atas Hendra – Agus, Konspirasi Pengadilan?

zonapers.com, Jakarta.

Penulis: Ninoy Karundeng

Pengadilan kasus Ferdy Sambo dapat dinominasikan sebagai pengadilan abad ini. Kasus yang menyedot banyak perhatian publik yang kemudian berubah menjadi melodrama.

Ribuan opini publik terbangun melalui gencarnya pemberitaan media, pernyataan pengacara, dan putusan hakim pengadilan yang terhormat. Opini tersebut kemudian bermetamorfosis menjadi konten medsos yang tidak bertanggung jawab dengan tujuan untuk memuaskan birahi publik dan juga para hakim pengadilan.

Salah satu vonis yang dirasa anomali adalah vonis hukuman Brigjend Pol. Hendra Kurniawan dan Kombes Agus Nur Patria. Vonis hukuman mereka lebih berat dibandingkan dengan hukuman ringan pelaku eksekutor utama pembunuhan Joshua, Bharada Eliezer.

Jelas keputusan vonis hakim dipengaruhi suasana riuh dan carut marut di medsos, yang memotret Bharada Eliezer menjadi media darling melalui simpati publik. Padahal sebagai pelaku utama pembunuhan, meskipun dalam tekanan, bahwa Bharada E sebagai eksekutor yang menembak Joshua adalah fakta yang tidak terbantahkan, yang ketika itu, tentu bisa saja menolak perintah Ferdy Sambo. Bandingkan juga dengan hukuman pada kasus Nasrudin Zulkarnaen yang diotaki Antasari Azhar, eksekutor Daniel Daen Sabon dihukum 18 tahun penjara.

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam vonis Hendra-Agus telah melupakan satu hal penting. Tentang doktrin tegak lurus; yakni bawahan tunduk pada perintah atasan. Hakim hanya menerapkan prinsip ini untuk Bharada E yang dihukum ringan, meski sama-sama di bawah tekanan Sambo.

Hakim menghukum Hendra Kurniawan dan Agus Nur Patria tanpa melihat suasana batin dan doktrin di atas. Bahwa Hendra dan Agus adalah tersangka obstruction of justice, bukan eksekutor pembunuhan, justru dihukum lebih berat. Mereka bukan hanya mendapat tekanan Ferdy Sambo, namun dalam jalannya persidangan mereka tidak menjadi media darling seperti Bharada E. Karena melodrama medsos yang dibangun oleh pengacara Bharada E membius publik dan hakim.

Tentu kasus vonis hakim terhadap Hendra dan Agus menjadi sorotan publik. Mereka dijadikan tersangka obstruction of justice, yang pada persidangan tidak terbukti melakukan perbuatan sesuai pasal 33 UU ITE, malah mendapat vonis 3 tahun dan 2 tahun penjara karena mengikuti perintah tertulis dan menjadi korban skenario Ferdy Sambo.

Dalam peran dan vonis terhadap Bharada E, hakim tidak melihat fakta bahwa dia pada awalnya adalah pembohong dan ikut melindungi skenario awal Ferdy Sambo.

Sementara Brigjend Hendra Kurniawan dan Kombes Agus Nur Patria adalah polisi yang jujur, juga menjalankan perintah tertulis berupa Sprin serta Surat Tugas. Sebagai anggota Polri, tidak ada alasan bagi mereka menolak tugas yang diberikan. Pun terkait skenario busuk Sambo mereka baru tahu sebulan setelah kasus pembunuhan terjadi.

Sedangkan Bharada E hanya mendapatkan perintah lisan. Tentu dia ada kesempatan untuk menolak perintah pembunuhan dari Sambo. Pun dia tahu seluruh rencana pembunuhan mulai awal hingg akhir.

Dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Brigjend Pol Hendra Kurniawan dan Kombes Agus Nur Patria menjadi korban vonis hakim yang sangat aneh dan sesat. Hakim pengadilan tidak mempertimbangkan unsur yang meringankan mereka, bahwa Hendra dan Agus adalah perwira polisi yang telah bekerja lebih dari 20 tahun. Jelas berjasa bagi bangsa dan negara. Sedang Bharada Richard Eliezer baru mengabdi kurang dari 3 tahun bertugas di kepolisian yang belum ada jasanya sama sekali.

Hakim, seperti juga publik, pun termakan oleh berita medsos sehingga tidak melihat secara jernih perbedaan peran antara Eliezer sebagai pelaku utama dan pendukung skenario FS dalam kasus penembakan brigadir J, dengan peran Hendra-Agus sebagai korban skenario FS dalam kasus obstruction of justice. Padahal disini terdapat perbedaan yang jelas bahwa Hendra-Agus hanya menjalankan perintah karena tugas dan mereka bukakan bagian dari skenario pembunuhan oleh Sambo.

Melodrama persidangan telah menjelma menjadi panggung sandiwara yang memuaskan libido pengguna medsos dan publik serta juga kepuasan pribadi hakim dengan mengorbankan karir dan kehidupan Hendra dan Agus. Persis kelakuan hakim terhadap kasus Ahok yang vonisnya diketok karena tekanan para begundal. Unsur keadilan diabaikan sama sekali. Pun hakim tunduk pada tekanan publik untuk menjadikan Bharada E sebagai pahlawan. Tentu ini menyalahi fungsi pengadilan.

Vonis terhadap Eliezer hanya berdasarkan perasaan dan dukungan medsos, hal ini berbanding terbalik dengan vonis Hendra-Agus, yng tidak mendapatkan dukungan medsos walaupun bukti di persidangan menyatakan bahwa Hendra dan Agus tidak ikut dalam skenario pembunuhan, dan sebagai terdakwa terkait dengan UU ITE yang tak sepenuhnya terbukti.

Maka vonis aneh hakim pun terjadi. Bharada Richard Eliezer yang jelas sebagai eksekutor pembunuhan hanya dihukum ringan sedang Agus dan Hendra sebagai perwira polisi yang jujur dan setia menjalankan tugas harus menanggung hukuman lebih berat dibanding eksekutor pembunuhan. Tentu ini bukan keadilan.

Hakim pengadilan seharusnya tidak terpengaruh oleh melodrama medsos yang dibuat oleh pengacara Bharada E dan tekanan media sosial. Hakim harus mempertimbangkan hal yang meringankan bagi Hendra dan Agus sebagai anggota polri yang telah berjasa bagi negara selama lebih dari 20 tahun, sekaligus kasusnya hanya obstruction of justice dan UU ITE, bukan seperti peran Bharada Eliezer yang menjadi eksekutor pembunuhan. Keadilan bagi Hendra dan Agus harus ditegakkan. Demi menjaga martabat keadilan dan tegaknya pengadilan, menghindari pengadilan sesat yang disebabkan oleh hakim yang tidak jernih dalam menimbang dan memutuskan suatu kasus, selain keadilan bagi Hendra dan Agus. Ingatlah wahai Hakim, putusanmu kelak akan diminta pertanggungjawabannya di dunia dan akhirat !!

Penyampai Narasi : Hans Montolalu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *